“Bisa ketemuan sekarang?" tanya Candra setelah mendengar bahwa Kirana menangis. Apapun yang terjadi, perempuan itu harus ditenangkan. “Dimana?” tanya Kirana ditengah-tengah sesenggukannya. “Aku baru sekitaran kampus nih, baru habis nganterin temenku. Cafe biasa, ya?” “Oke. Aku ke sana sekarang.” Gerimis mengiringi perjalanannya ke cafe dimana ia dan Candra akan bertemu. Kirana mengusap air mata di pipinya. Hari ini, semuanya sudah terungkap. Apa yang selama ini ia ingin tahu, apa yang selama ini dirahasiakan alam semesta pada dirinya sudah terungkap. “Selamat malam, Mbak Rina. Mau pesan apa hari ini?” tanya Nanta, si barista. “Nanti aja, mau nunggu temen dulu.” “Oke.” Kirana duduk di sudut cafe di sebelah dinding kaca. Ia membuka Whatsappnya, namun setelahnya dia hanya diam. Ia menatap dua nama di sana: Lingga dan Candra. Dua orang yang selalu ada untuknya. Lingga, teman semasa SMAnya dulu, orang yang menganggapnya seorang adik, padahal hanya kepadanya Kirana menaruh separuh
Kirana hening, ingatannya bening terhadap kenangan di bukan Oktober tahun lalu. Ia bukanlah seseorang yang pandai mengingat-ingat. Ia juga bukan seseorang yang suka meningat-ingat. Akan tetapi, keheningan malam di bulan September menghantarkannya pada kenangan itu. Menanggung perasaan sepihak secara diam-diam sangatlah berat. Namun, ketika diam dan mengutarakan sama-sama beratnya, tak ada salahnya untuk mengutarakan., tulis lelaki itu pada status Whatsappnya. Kirana termenung membaca tulisan itu, singkat namun menusuk hingga menembus pertahanannya. Dia tak kenal dekat dengan lelaki bernama Candra ini. Mereka hanya pernah bertegur sapa dan berkenalan pada suatu acara. Pertemuan itu menghantarkan mereka pada obrolan-obrolan yang santai namun begitu dalam. Kecocokan topik percakapan membuat mereka pada akhirnya bertukar nomor ponsel. Kirana: Meskipun perasaan itu diemban oleh perempuan? Candra: Yap, meskipun perasaan itu diemban oleh perempuan. Daripada menambah sesak dalam dada, 'kan